Pemetaan Partisipatif

MESKI DIREVISI, UU PENATAAN RUANG PUNYA PERAN BESAR DALAM PEMBANGUNAN

Undang Undang No.24/1992 tentang Penataan Ruang yang kini tengah dilakukan pembahasan dengan DPR untuk direvisi, dinilai telah memberikan andil yang cukup besar dalam pembangunan nasional. Kenyataannya UU yang telah diberlakukan lebih dari satu dasawarsa itu juga telah mendorong terbentuknya kesadaran masyarakat akan pentingnya penataan ruang dalam melaksanakan pembangunan. Berbagai produk rencana tata ruang dalam UU itu telah dijadikan acuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan baik di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang wajib ditaati. Dari kesadaran itulah peran masyarakat sebagai pemanfaat dan penerima manfaat dalam penyelenggaan pentaan ruang dapat berkembang. Hal itu disampaikan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto saat memberikan sambutan pada Seminar Penataan Ruang Berbasis Keterpaduan Pembangunan yang digelar Ditjen Penataan Ruang bekerjasama dengan Pansus RUU Penataan Ruang DPR RI di Jakarta, Rabu (22/3). Menteri PU menyadari telah berkembangnya pemikiran di tengah masyarakat yang menghendaki adanya peningkatan kinerja bagi penyelenggara penataan ruang dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat seperti banjir, longsor, kemacetan lalu lintas, pemukiman kumuh serta berkurangnya ruang publik/ruang terbuka hijau di perkotaan. Selain itu, kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk dan adanya ketimpangan pembangunan di kawasan perkotaan dan perdesaan merupakan masukan bagus yang perlu diperhatikan pemerintah ke depan. Menteri PU menilai pemikiran itu sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperkuat pengaturan penataan ruang mengingat UU Penataan Ruang yang ada tidak lagi memadai. “Itulah mengapa UU lama perlu disesuaikan dengan perubahan paradigma yang terjadi saat ini,” ujar Djoko Kirmanto Menurut Djoko, ada lima point mengapa UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang perlu disempurnakan. Pertama, terdapat implikasi pelaksanan otonomi daerah. Kedua, rencana tata ruang belum sepenuhnya dijadikan acuan, sehingga hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Ketiga, lemahnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang akibat tidak adanya aturan sanksi dan lemahnya pengawasan. Keempat, meningkatnya kesadaran masyarakat terkait dengan tuntutannya seperti transparansi, akuntabilitas dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang. Kelima, perlunya dilakukan penataan ruang yang normatif dan dapat mengakomodir masyarakat lokal. Ditegaskan, pemerintah dengan mempertimbangkan berbagai masukan masyarakat. Menurut Djoko, dalam menyusun RUU baru nanti, pemerintah tidak hanya melakukan berbagai kajian yang terkait dengan substansi pengaturan, melainkan berupaya pula menggali aspirasi dari pemangku kepentingan melalui berbagai forum konsultasi publik. ”Saya yakin RUU yang diajukan sangat memperhatikan masukan berbagai pihak,” tambah Menteri PU. Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar sependapat dengan Menteri PU yang menilai adanya berbagai bencana alam yang terjadi di berbagai daerah baru-baru ini merupakan gambaran kurang baiknya pelaksanaan penataan ruang selama ini. ”Pengendalian penataan ruang bukan lagi pelengkap tapi hal terpenting dalam kehidupan,” ungkapnya. Dikatakan pula adanya bencana alam seperti longsor, banjir terjadi akibat rusaknya lingkungan alam seperti alih fungsi lahan ( konversi) dan kerusakan DAS. (Sony) Pusat Komunikasi Publik